Monday 8 February 2016

Surat dari praha



Surat dari praha
Reviewer: Triztan Famous


Ada tiga alasan kenapa saya menonton film Surat Dari Praha, yang pertama karena ini film dari Visinema yang di sutradari oleh Angga Dwimas Sasongko, yang kedua adalah karena Tio Pakusadewo yang notabennya adalah aktor Indonesia favorit saya selain Reza Rahardian, dan yang ketiga karena film ini mengangkat tema yang masih anomali karena jarang diangkat oleh sineas Indonesia.
Angga Dwimas Sasongko yang menawan saya dengan Cahaya Dari Timur: Beta Maluku dan memantapkan pengalaman cinematik saya dengan Filosofi Kopi yang sampai sekarang masih menjadi film favorit saya yang pernah ia buat. Semenjak Surat Dari Praha mulai menjejakkan langkah pertama, konflik langsung dihadapkan kepada kita. Perkenalan tokoh yang sanggat baik juga semakin memperlancar jalannya film ini, menit pertama kita langsung diperkenalkan dengan tokoh Dahayu Larasati (Julie Estele) yang berarti teratai yang cantik dan (Widyawati), yang entah kenapa wajah mereka terlihat teramat mirip.
Laras yang sudah lama tak jumpa dengan ibunya tiba-tiba menghubungi ibunya di rumah sakit untuk meminjam sertifikat rumah guna melunasi hutang yang harus ia tanggung karena perceraiannya dengan Chiko Jeriko. Ibu laras yang meninggal setelah operasi meninggalkan sebuah permintaan yang mau tak mau harus Laras turuti, yaitu mengantarkan sebuah kotak berisi surat dari praha dan meminta tanda tangan kepada sosok yang ia kirimi kotak tersebut.
Sesampainya di Praha, ia bertemu dengan Jaya (Tio Pakusadewo) yang kurang lebih memiliki sifat pahit, egois, dan keras seperti dirinya. Tak mudah untuk Laras mendapatkan tanda tangan dari Jaya. Jaya yang tak ingin hidupnya kembali diobrak-abrik, langsung menyuruh Laras untuk meninggalkan rumahnya. Tetapi karena suatu kejadian, akhirnya Laras menginap di rumah Jaya untuk beberapa hari dan mulai mencairlah hubungan mereka, hingga menghangat, dan akhirnya menjadi intim.
Secara garis besar Surat Dari Praha mengingatkan saya akan beberapa film-film favorit saya yang saya tonton berulang, seperti memiliki akumulasi rasa dari Trilogi Before yang fenomenal itu, Lovely Man yang indah itu dan memaafkan masalalu seperti dalam Filosofi Kopi. Entah mengapa ada rasa yang menganjal saat saya melihat Surat Dari Praha ini, banyak emosi yang terlalu cepat dilemparkan kepada penonton sehingga membuat film ini terlalu padat. Tak seperti Filosofi Kopi dahulu yang membuat saya menitikan air mata di bioskop, di Surat Dari Praha ada beberapa emosi yang gagal sampai karena kurang banyaknya persiapan sehingga saya kurang bisa merasakan bagaimana kesendirian Jaya dan Luka yang Laras rasakan.
Yang kedua adalah penggunaan Green Scren pada adegan Laras dan ibunya di rumah sakit yang menurut saya cukup menganggu. Lalu adegan pada saat di rumah duka, Laras yang baru saja kehilangan ibunya sama sekali tak menitikan air mata. Sampai sebegitu keraskah hati Laras karena sakit hati dengan ibunya hingga hatinya sama sekali tak terketuk? Lalu kenapa pada saat dengan pak Jaya dia dapat dengan mudah mencair dan menjadi pribadi yang hangat dalam beberapa hari? Dan yang ketiga adalah pemain-pemain figuran di film ini yang berasal dari praha yang berakting kaku dan asal-asalan. Saya sampai tak percaya bagaimana seorang Angga Dwimas Sasongko menggunakan Extras seperti itu di dalam film ini. Adegan perampokan di taksi yang menjadi titik balik di dalam film ini harusnya bisa jauh lebih baik daripada adegan datar dan buruk seperti itu.
Tapi selain itu ada banyak adegan yang membuat hati hangat di Surat Dari Praha, seperti saat Jaya bernyanyi di bar, atau pada saat Jaya dan teman-temannya dengan reunian di rumah Jaya menyanyikan lagu tentang kuda yang entah apa judulnya dan lagu Indonesia raya yang saya harus akui dapat membuat haru seisi bioskop karena dinyanyikan oleh para manusia berideologi kuat yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan yang paling saya akui adalah dipertengahan menuju klimaks dimana Laras dan Jaya berdebat hebat dengan kata-kata yang menurut saya sadis dan kasar dengan tehnik longtake yang menakjubkan, walau tidak terlalu lama, tapi adegan itu membuat saya semakin kagum dengan Julie dan Tio yang berakting dengan menakjubkan setelah mereka beradu di The Raid 2.
Overall, Surat Dari Praha adalah film anomali dengan cerita yang jarang diangkat di dunia perfileman Indonesia yang patut untuk disaksikan di bioskop. Walau melabeli dengan film shot luar negeri, tapi film ini tidak semata-mata menjual pemandangan luar negeri seperti kebanyakan film indonesia lainnya, Surat Dari Praha dengan bijaksana menggunakan setting luar negeri sesuai dengan kebutuhan cerita. Dengan cerita yang padat dan emosi yang kerap tumpah dimana-mana film ini menjadi film yang jarang ada di perfileman Indonesia.
Sebagai film yang menjadi pemula parade film-film yang paling dinanti tahun 2016, Surat Dari Praha melakukan tugasnya dengan baik. Untuk mengakhiri review ini saya ingin mengucapkan selamat kepada Angga Dwimas Sasongko untuk meneruskan tradisi film bagus yang ia sutradarai dan selamat datang untuk Ahhc... Aku Jatuh Cinta, A copy Of My Mind dan Ada Apa Dengan Cinta yang akan segera menyapa kita... sekian.
Skor : 8/10

Wednesday 30 December 2015

The Revenant (2015)



THE REVENANT (2015)
Reviewer : Triztan Famous

Sejak menit pertama, The Revenant berhasil menghantarkan suasana sedih, mencekam, sendu, getir sekaligus dingin yang memukau. Terlebih adegan pertermpuran antara pemburu dan suku indian yang brutal dan beberapa kali diambil dengan long take yang mempesona. Dan siap-siap untuk menahan nafas saat pertarungan epik Caprio dengan beruang yang brutal, indah sekaligus akan membuatmu memohon untuk segera diakhiri (bahkan aku sampai menarik-narik rambut dikepala saking sadisnya adegan itu).
 The Revenant adalah adaptasi cerita nyata  lama dari novel The Revenant: A Novel of Revenge milik Michael Punke yang diceritakan kembali oleh Iñárritu dalam sebuah petulangan survival epik sepanjang 156 menit. Berpusat pada kisah bertahan hidup luar biasa dari Hugh Glass (Leonardo Dicaprio), mantan tentara Amerika di era 1823 yang ditinggalkan oleh rekannya begitu saja setelah tak berdaya diserang beruang Grizzly dengan kisah balas dendamnya yang luar biasa.



Kabar baiknya adalah itu baru satu dari sekian adegan menakjubkan dan diluar nalar The Revenant, diantara gambar yang senantiasa menciptakan hawa dingin mencekam dan satu persatu adeganpun muncul dan mengoyak hatimu, bahkan saking mencekamnya film ini srooring saja baru muncul setelah kurang lebih satu setengah jam film ini berjalan. Selain memiliki cerita dan penyutradaraan yang sangat baik, The Revenant juga memiliki Dicapiro dan Tom Hardy yang bermain sangat prima sebagai sosok Fitzgerald yang luar biasa licik dan menjengkelkan. Sungguh layak mereka berdua diganjar nominasi Oscar untuk apa yang telah mereka lakukan disini, benar-benar brilian. Coba saja lihat bagaimana mata Dicaprio bicara selama di film ini, kau akan takjub melihat bagaimana seorang pelakon benar-benar bisa melakonkan perannya dengan sangat-sangat baik dan totalitasnya disini benar-benar diuji oleh sang sutradara yang tak pernah setengah-setengah dalam membuat film (adegan makan ikan dan daging mentah menjadi salah satu bukti totalitas Leonardo Dicapiro).
Posisis dimana penonton menjadi seseorang yang buta terhadap apapun dan tak bisa kejadian-kejadian apa yang akan dialami Hugh Glass adalah salah satu poin lebih di film ini. Kejutan demi kejutan yang hadir dan terjalin rapi membuat film ini begitu alami dan tak dibuat-buat. Pejuangan Hugh Glas di alam liar juga patut diacungi jempol. Apalagi dengan motivasi yang ditampilkan begitu brilian oleh Alejandro G. Inarritu, menjadikan The Revenant menjadi salah satu film bertahan hidup dan balas dendam terbaik, terkejam, terbrutal dan terindah yang pernah ada.
Overall The Revenant adalah sebuah puisi yang akan mengoyakmu tampa aba-aba, puisi yang akan membuatmu ngilu akan sebuah perjuangan panjang seorang ayah yang membalaskan dendam atas kematian anaknya dan sebuah puisi yang akan membuatmu menghela nafas panjang dan lega saat melihat film berdurasi lebih dari dua setengah jam ini berakhir, hingga akhirnya kau akan bertepuk tangan melihat pengalaman sinematik yang tak ada duanya ini. Kredit khusus untuk Emmanuel Lubezki yang telah membuat film ini sanggat mempesona.
Skor : 9/10

Tuesday 29 December 2015

Triztan Famous Review : Single (2015)


SINGLE
Reviewer : Triztan Famous

“Kubenci sendiri... kubenci sendiri... sampai kapan terus begini...”
Entah kenapa saat keluar dari bioskop aku dan teman-temanku terus menyanyikan Ost. Film single yang khusus diciptakan oleh Geisha untuk film ini. Kurang lebih ada tiga macam gubahan arasemen yang sanggat candu di dalam film Single yang menggunakan lagu ciptaan Geisha ini. Ekspektasi yang rendah dan cenderung kecewa saat menonton film ini sedikit demi sedikit terobati saat film ini mulai bergulir. Jujur sebelumnya tak ada rencana sama sekali untuk menonton film ini sebelumnya, karena pada malam itu aku dan teman-teman berencana untuk ikut heboh dalam pengalaman sinematic Star Wars episod VII berjudul The Force Awakens, tapi karena telat setengah jam dan karena tak ingin pulang dengan tangan hampa. Akhirnya kita putuskan untuk menonton film single, yang begitu heboh mengisi liburan anak-anak muda di Indonesia.
Ekspektasi rendah dan rasa kecewa saat menonton film ini membuatku dan teman-teman mengira jika film ini akan berakhir sama seperti comic 8 Casino King Part 1 yang begitu melempem. Tapi saat film mulai bergulir perlahan film ini mulai dapat dinikmati, terlebih saat Ebi (Raditya dika) galau benyanyi kubenci sendiri yang dilantunkan Geisha dengan mimik wajah yang teramat sanggat ingin aku tonjoki (hahaha... entah kenapa dari dulu saat aku melihat Raditya Dika terbesit rasa untuk menghancurkan wajahnya, Pstt jangan bilang-bilang sama dia ya). Scene saat Ebi menyanyikan lagu Geisha dengan suara tak karuan itulah yang membuatku menikmati single.
Secara garis besar Single menceritakan tentang Ebi yang memiliki kesulitan untuk berbicara dengan lawan jenis dan sudah berumur untuk memiliki pasangan. Dibantu kedua sahabatnya Wawan (Panji) dan Victor (Babe Cabita) Ebi mulai mencari pasangan karena mamanya yang terus menerus mendesaknya dan adiknya yang keburu nikah karena sudah mapan, memiliki rumah dan pasangan, tidak seperti Ebi yang malah kebalikannya, Belum dapat kerja, masih kost dan sering pinjam uang mamahnya dan menjalani hidup yang biasa-biasa saja.
Salah satu hal kenapa malam itu memutuskan untuk menonton film Single karena ada nama Soraya Film dibelakangnya, tak lebih tak kurang karena sebelum-sebelumnya saya memang bukan penggemar berat Raditya dika, sayapun juga belum menonton film Dika sebelumnya. Di Indonesia nama Besar Soraya Film sudah menjadi Brand menjanjikan akan sebuah film untuk menampilkan production value yang menakjubkan. Soraya Film yang sebelumnya sukses mnelurkan film-film mega blocbuster seperti Eifel i’m in love yang berhasil menembus 2 juta penonton, 5 cm yang kembali mendulang emas sebesar 2,2 jutaan penonton, Tenggelamnya Kapal Van Der Wick yang menjadi film dengan penonton terbanyak di Indonesia tahun 2013 dengan jumlah penonton 1,7 juta penonton dan terakhir film Supernova episode satu yang berjudul Ksatria, Putri dan Bintang jatuh yang tampil paling menyedihkan lewat eksekusi film, kesalahan casting, pelafalan bahasa buku dan pemilihan materi novel yang tidak cermat. Sehingga menjadikannya film Soraya berpenonton paling rendah, yaitu sekitar 500an ribu penonton saja.
Sigle yang produksi oleh Soraya Film memberikan sajian gambar yang begitu indah, jernih, dan mewah. Shot-shot Bali yang menakjubkan, adegan skydiving yang lumayan menghibur dan ledakan mobil yang sudah nampak sedikit ti trailernya, sungguh kemewahan yang sanggat jarang ditampilkan di perfileman indonesia yang jarang berani memproduksi film dengan dana yang besar.
Film Single juga memiliki keistimewaan daripada film-film raditya dika yang lainnya, selain production value yang jempolan, single juga memiliki amunisi sebagai film pertama Raditya dika yang tak berdasarkan dari buku-bukunya, selain nama Raditya dika yang begitu menjual di kalangan anak muda. Banyak hal yang membuat film ini begitu mengalir dan membuat 2 jam dibioskop tak terlalu terasa. Acungan jempol untuk Babe Cabita yang berhasil meningkatkan suntikan humor di film ini, joe yang tampil begitu menganggu dan menjengkelkan sekaligus lucu disaat yang bersamaan, Panji juga tampil begitu pas, begitu pula Pevita pearce yang tampil begitu menakjubkan walau hanya menjadi cameo saja di dalam film ini. Memang ada beberapa moment dan emosi yang tak terlalu berhasil disampaikan dengan baik di dalam film ini, dan moment-moment tersebut kebanyakan pada saat angel (anisa rawles) berakting. Angel yang menjadi karakter pusat di film ini seharusnya bisa melakukan sesuatu yang lebih daripada tangisan palsu saat puisi ibunya dirobek-robek radit. Sumpah, itu akting murahan sekali. Memang ada beberapa plot hole yang terdapat di film ini, tetapi setidaknya ini adalah Film komedi yang tidak kampungan seperti film-film berlabel komedi lainnya.
Single adalah film komedi berkelas, dengan Production Value yang begitu berkelas juga. Meski banyak moment yang hit and mis, tapi setidaknya film ini begitu lancar bercerita hingga akhirnya memberimu pencerahan pada akhir filmnya. Semoga suatu saat nanti Radit berhenti bermain-main di zona amannya, dan memulai suatu hal diluar jalur film-filmnya kebanyakan.

Skor : 7,5 /10 

ps: selamat atas pencapaian film single memperoleh 1 juta penonton #BanggaFilmIndonesia

Monday 30 November 2015

Triztan Famous Review : The Good Dinosaur (2015)



The Good Dinosaur
Reviewer : Triztan Famous

Setelah absen unjuk kebolehan di tahun 2014, pixar kembali keranah animasi pada tahun 2015 dengan dua buah film animasi berbuget besar. Kerontang akan karya masterpiece Pixar langsung terpenuhi dengan bombardir teaser, trailer dan snek peak Inside Out yang begitu menakjubkan. Semua orang yang sudah menyaksikan Inside Out pasti berseru jika Pixar is Back! Tak salah memang, Pixar yang menjadi brand penghasil animasi blockbuster dan studio animasi penjamin mutu kembali mempertahankan nama besarnya dikancah perfileman animasi dunia, dan saya juga berani bertaruh jika piala Oscar untuk animasi terbaik bakal kembali ke Pixar dengan Inside Outnya yang luar biasa.
Tapi, expektasi yang membumbung tinggi akibat penampilan gemilang Inside Out tak lantas membuat The Good Dinosaur kecipratan keajaiban Pixar. The Good Dinosaur yang proses produksinya mundur satu tahun dan mengalami pembongkaran cerita, sutradara dan pengisi suara harus dengan lapang dada menerima beragam kritikan. The Good Dinosaur sebenarnya bukan film yang buruk, sama sekali bukan. Tapi the Good Dinosaur juga bukan film animasi sekelas Inside out, trilogy toy story, Wall E, Rattatoulie, The Incridible, Up, dan Finding Nemo yang fenomenal itu.
The Good Dinosaur adalah film kelas dua Pixar yang memiliki sajian cerita sekelas, Cars, Cars 2, Brave, ataupun Monster University. Pergantian sutradara, pengisi suara dan perombakan cerita memang sangat terasa saat menyaksikan film ini, saya yang ingin takjub untuk kesekian kalinya saat menyaksinya film produksi Pixar memang harus menelan kecewa dengan cerita yang terlampau simple untuk brand sekelas Pixar.  Tapi bukan Pixar namanya jika tak memiliki sentuhan ajaib di dalam setiap filmnya, The Good Dinosaur adalah film animasi terindah yang pernah saya lihat, efek hujan, air, awan, atau pemandangan alam di film ini terasa begitu menakjubkan dan hampir seperti nyata. Empat jempol ke atas untuk tim Pixar yang telah menciptakan dunia The Good Dinosaur yang begitu indah.
Karakterisasi begaram dinosaurus di film ini juga kuat dan indah dengan tampilan warna-warni yang mudah disukai anak-anak dan cukup efektif untuk mengundang tawa dengan berbagai tingkah polahnya. The Good Dinosaur memang sebuah film yang dikhususkan untuk anak-anak, tak seperti film-film Clasic Pixar yang bisa dinikmati oleh anak-anak dan orang dewasa selaku pendamping anak-anak saat menonton film. Tapi memang ada beberapa hal yang terlalu berlebihan jika film ini memang dikhususkan untuk anak-anak, seperti saat arlo dan spot mabuk karena makan buah-buahan senejis beri atau jamur, atau adegan-adegan yang terlampau keras dan kejam yang terjadi kepada Arlo dan Spot saat tersesat di alam liar.
Overall, The Good Dinosaur adalah film animasi dengan sajian sinematik paling indah dan menakjubkan yang pernah ditampilkan oleh film-film animasi selama ini tapi terkesan nanggung di aspek cerita. Terlalu keras dan kejam untuk anak-anak tapi terlalu membosankan dan mudah ditebak untuk orang dewasa.
skor:


7/10

Thursday 8 October 2015

INSIDE OUT (2015)





INSIDE OUT
Reviewer: Triztan Famous

Pixar is back! Pixar is back! Kegirangan saya dengan sahabat saya saat mendengar kabar Inside Out tayang di Indonesia. Setelah menunggu kurang lebih dua bulan karena harus mengalah dengan Minions yang luar biasa menjengkelkan itu akhirnya film yang digadang-gadang menjadi film animasi peraih piala Oscar tahun ini keluar juga. Ekspektasi yang tak lagi bisa terbendung, pujian setinggi langit para kritikus film hingga pendapatan opening yang mampu menutupi setengah ongkos produksi tak ayal membuat para pecinta film animasi khususnya Pixar berbondong-bondong ke bioskop.
Pixar adalah sebuah Brand internasional yang menguasai permainan dunia animasi selama kurang lebih 25 tahun. Film pertama Pixar, Toy Story langung mencuatkan nama Pixar kedunia internasional. Kemunculan beruntun film-film animasi yang memiliki kualitas dan cerita diatas rata-rata semakin memperjelas pemetaan studio animasi terbaik yang pernah ada di dunia. Sebut saja film A Bugs Life yang muncul setelah film Toy Story yang pertama, lalu disusul Toy Story 2, Monster Inc., Finding Nemo, The Incridible, Cars, Ratattaulie, WALL E, UP, Toy Story 3 dan mulai mengendur kualitasnya saat merilis Cars 2, Brave, Monster University, hingga akhirnya harus vakum setahun karena masalah produksi film The Good Dinosaur yang harus dirombak hingga akhirnya semua orang bersorak sorai saat Pixar kembali dengan karya barunya berjudul Inside Out yang memukau dunia.
Film Inside Out bercerita tetang lima emosi dasar yang hidup didalam fikiran manusia, kelima emosi tersebut ialah Joy (Gembira), Sadnes (Sedih), Angry (Marah), Fear (Takut) dan Digust (Jijik). Secara garis besar Inside Out bercerita tentang pergolakan emosi Riley, gadis 12 tahun yang enerjic dan penggembira yang harus terpaksa meninggalkan kehidupannya yang sempurna di Menesota ke San Francisco karena pekerjaan ayahnya. Secara plot cerita Inside out sebenarnya juga sangat simpel, tapi perpaduan antara dunia nyata dan dunia emosilah yang pada akhirnya membuat film ini begitu menakjubkan.
Jika ditilik melalui trailer, teaser dan beragam snek peak yang bertaruran di youtube (Inside Out adalah film Pixar yang paling banyak mengumbar sneak peak sepanjang masa) dalam persepsi saya film ini bakal serumit Inception Christopher Nolan yang begitu Rumit, Indah dan menakjubkan karena sama-sama memiliki seting yang sama, yaitu dunia fikiran dan dunia nyata. Tapi ternyata saya salah, Inside Out sama sekali berbeda dengan masterpiece Nolan tersebut. Begitu mudahnya kita masuk ke dalam dunia Inside Out, lewat karakter-karakter mengemaskan, berwarna, dan dialog cerdas sesuai porsinya kita diajak berpetualang ke dunia fikiran Riley Anderson.
Dunia alam sadar, long term memory, pulau imajinasi dan lain-lain disajikan dengan begitu greget dan menakjubkan. Begitu bewarna dan begitu mengasyikan menikmati Inside Out, serasa anak kecil tersesat di Time Zone. Konflik bergulir saat Sadnes tiba-tiba bertindak diluar kendali hingga membuat dirinya dan Joy keluar dari Ruang Kendali. Saat Joy dan Sadnes keluar dari Ruang kendali itulah Inside Out benar-benar menunjukkan taringnya. Petualangan demi petualangan mereka lewati bersama Bing Bong yang bakal membuatmu terpingkal-pingkal dan bingung memilih karakter mana yang akan kalian favoritkan di dlam film ini. Bing Bong yang diperkenalkan dengan cara komikal pada akhirnya harus membuatmu menitikan air mata di paruh akhir penceritaan.
Inside Out juga memberi kita banyak pelajaran, salah satunya adalah jika peristiwa semata-mata hanyalah peristiwa, jenis emosilah yang pada akhirnya membuat kita menjadikan peristiwa itu menjadi kenangan yang membangkitkan rasa hangat di dada, rasa marah, rasa jijik, rasa takut ataupun rasa sedih. Di dalam film ini kita juga diajarkan jika semua emosi itu teramat penting untuk ada di dalam kehidupan kita. Jika anda berfikir jika Sadnes itu tidak penting, coba berfikirlah ulang, kita tak akan bisa merasakan kebahagiaan jika kita tak merasakan kesedihan terlebih dahulu, begitupun sebaliknya.
Sekali lagi Pixar membuktikan jika mereka masih memiliki sentuhan ajaib untuk membuat karya masterpiese, film yang dibuat dengan hati begitu banyak berbicara lewat emosi hingga membuatku untuk kedua kalinya menitikkan air mata di dalam bioskop tahun ini (Awal-awal tahun Filosofi Kopi berhasil membuatku menitikkan air mata karena konflik dengan sosok Ayah yang terasa begitu personal). Overall, Pixar did a great job again...
Skor : 10/10